Minggu, 03 Agustus 2014

[Re-Read] Langitku, Langitmu, Itu Rindu

Diposting oleh KOTAKATIKU di 8/03/2014 06:04:00 PM

Surya menyapaku, bulan menemanimu. Kita tak berada dalam satu langit, tapi seluruh angkasa menyambutmu. Mereka mengirimmu dalam ruang rindu. Kau, misteriku, nafas keduaku, bulir nadiku, sapa aku dalam ruang rindu.

Aku berdiri. Aku tak berjarak dengan telepon genggam. Pengganti pelukmu.

*KRING*

Nada telepon itu adalah nyanyian benda canggih terhebat. Dan auramu merambat, menggetariku. Inilah waktuku, inilah waktumu. Kurekatkan telingaku.

"Selamat pagi Rahne Putri. Karenamu aku jadi mengingat? Jika aku memukulmu, Tuhan memukulku."

"Malam Zarry, aku pun teringat semoga hujan di tempatmu bukan wanita karena aku bisa cemburu dia lebih dulu menyentuh tubuhmu."

Aku mendengar suaranya, menembus labirin otakku. Entah bagaimana beku dan hangat bisa kurasa menjadi satu. Jemariku dan mataku menatap lurus puisi yang kau kirim, jutaan detik lalu.

"Puisi yang kubuat untukmu kau pasti suka, karena resepnya datang dari surga."

"Ya, aku suka, surga yang berwarna. Oh ya, suatu saat jika kau buta warna, Zarry, aku telah siap melukis pelangi monokrom di langitmu."

Aku terdiam, aku tersenyum dan berusaha kusembunyikan olehmu. Seakan kau bisa menembus ruang, melihatku. Tapi aku tahu, kau tahu senyum itu.

"Rahne, aku tidak tahu-menahu tentang arsitektur, tetapi ulahku-kah yang membuat senyummu jadi jembatan antara bumi dan surga pagi ini?"

"Entahlah, tapi saat ini, aku yang tak tahu-menahu tentang ilmu bumi ini tahu pasti, bahwa tatapan matamu walau di bayangku, masih membuatku lupa akan gravitasi."

"Aku pun tidak paham strategi pasukan kurdi abad 13, yang aku tau hanyalah membentengimu dari panah lelaki brengsek."

Aku berbisik pada nuraniku, tentu kaulah bentengku, kaulah dinding hatiku. Aku bergeser, menatap langit di sela jendelaku. Andai kita satu langit bisikku.

"Zarry, aku tak paham astronomi, tapi gugusan bintang setuju membentuk konstelasi rindu kala langitku dan langitmu dipisahkan oleh waktu."

"Tidak tahu-menahu tentang matematika, tetapi setiap aku memikirkanmu 2x2 satu hasilnya selalu 5 huruf= Cinta."

Ah, kau menggodaku lewat angka, kau tau aku tak suka matematika, aku tak butuh hitungan. Karena rasaku takkan bisa terhitung, hingga kapanpun.

"Zarry, saat ini aku hanya membawa bekal setumpuk keyakinan dan kotak berisikan hati. Apa itu cukup untuk menjelajahi waktu bersamamu?"

"Kau lebih dari cukup, Rahne. Tenang dan menjelajahlah bersamaku, meskipun aku tak paham terhadap ilmu apapun, kecuali memahamimu."

"Namun ingatlah, selama kita menjelajahi waktu, mungkin aku sering lompat, terbang, namun tenang Zarry, ke dasar hatimulah aku selalu jatuh."

"Seangkasa dan sepalung manapun kau terbang tenggelam, mana bisa kau mati, Rahne? Jika surga memiliki nadi, cinta kita adalah denyutnya."

Aku tersentak, bagaimana aku tidak mencinta. Kata-kata itu menusuk hingga relung dan batinku.

"Apa kau bilang? Surga bernadi dan cinta kita denyutnya. Oh Zarry, cahaya kedua setelah matahari. Betapa aku telah jatuh padamu dan menolak bangun lagi."

"Biarlah ucap kuasa Tuhan yang membentuk senyummu. Jatuhlah seperti hujan memukul tanah, jatuhlah sesuai kalender surga."

"Apalah guna kalender jika hanya mengurut hari, kau telah menjadi detik yang kulewati, dan segala musim untuk kulalui."

Kau terdiam, hening, dan aku merekam bunyi nafasmu. Sebagai pengingat, kau adalah udaraku.

"Tidak tahu menahu tentang otomotif, ketika namaku disebut olehmu detak jantungku bisa melesat cepat membalap apa saja, siapa saja."

"Entah terbuat apa dirimu, ketika kudengar namamu thalamus otakku tak henti menggambar wajahmu dan nadiku bergemuruh."

"Bumi berputar, tapi aku tidak pusing karenanya, kau mau berputar-putar? Biarlah aku pusing asal tidak lepas pandanganku ke arahmu."

"Tuhan Maha Pencinta, Dia turunkan butiran seujung kukunya melalui jemarimu dan kata-kata yang luar biasa."

"Kemahaan Tuhan, kulihat kadang humoris. Menyediakanmu di musim galau, seperti menurunkan hujan di musim kemarau. Aku terhibur."

"Kemahaan Tuhan Sang pengatur segala, disediakannya kamu sebagai salju, yang siap membekukanku dalam deretan kata-kata syahdu. Aku malu."

"Aku ingin melihat antrian kata yang berdesakan di isi kepalamu, Rahne, aku ingin menyaksikan kuasa Tuhan melalui jemarimu."

Aku tercekik rindu. Waktu dan ruang seakan menghukumku. Andai bumi tak berputar, andai waktu terhenti. Kuabadikan saat ini.

"Aku menyalahkanmu, Zarry, kini paru-paruku hanya sebesar 1 senti. Ruang nafasku disesaki oleh baris cantik huruf-huruf yang tersusun oleh semesta pikirmu."

"Aku pun menyalahkanmu, huruf-hurufmu berbaris seperti tentara. Kini telapak kakiku meleleh, berdiri diatas kata-katamu yang membara."

"Ini salahmu, Zarry, jika esok matahari memusuhiku. Karena hangat kata dan sapamu cukup membuatku melewati ribuan hari tanpa pagi."

"Dan aku masih menyalahkanmu, kau biang keladi. Seenaknya menghentikan waktu dunia, dengan kalimat ajaib yang setara dengan mantra surga."

"Kini Mozart, Beethoven, bahkan Chopin bisa murka. Karena melodi terindah bagiku terlantun dari kata galian tarian lidahmu, dalam setiap kecapmu."

"Tuhan maha kreatif. Dia menciptakan berbagai kalimat semangat untuk hidupku dan salah satunya datang darimu."

"Aku tidak pernah menanyakan apa itu cinta hingga kau datang dengan ribuan jawaban. Jawaban yang akan terus kupilih, berkali-kali sampai mati."

Iya, kau jawabanku, atas hal-hal yang bahkan belum kutanyakan. Karena aku yakin, m
eyakinimu.

"Aku akan tidur, aku tak lelah, tapi aku ingin berbaring di antara kata-katamu yang berserakan dan empuk seperti bulu-bulu angsa."

Ini detik aku melepasmu. Dan aku akan kembali lagi pada bayanganmu dan menggenggam hampa jemari yang berjarak.

"Terima kasih Zarry, kini nadiku kembali berdenyut tatkala gubahan katamu menelusup sanubari dan menari-nari dalam pembuluh arteri. Kau diam, aku mati. Selamat tidur Zarry."

Kututup telepon peniup ruh dalam hatiku. Kini aku hidup lagi. Dan siap memulai hari.

-SADGENIC-

0 komentar:

Posting Komentar

 

KOTAKATIKU Template by Ipietoon Blogger Template | Gadget Review